![]() |
| Kejaksaan Agung Republik Indonesia |
Evav.News, Jakarta- Aktivis anti korupsi yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Penegak Hukum di Jakarta besok akan geruduk kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia, melakukan aksi demonstrasi meminta Jaksa Agung, ST Burhanuddin memerintahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Nicolaus Kondomo segera menetapkan, Lukas Chistian Sohilait sebagai tersangka dalam perkara Dugaan tindak pidana korupsi dana Otonomi Khusus (Otsus) pada Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPPAD) provinsi Papua.
Hal itu disampaikan kordinator Forum Mahasiswa Penegak Hukum (FMPH) di Jakarta, melalui siaran tertulisnya Rabu 11 Agustus 2021.
“ Belum ada tersangka jadi patut kita curigai, Kejati papua bersama jajaranya dalam penanganan perkara ini, sehingga lebih mempertegas sikap kami FMPH, maka hari Kamis besok, kami akan melakukan aksi Demonstrasi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dengan tuntutan meminta Jaksa Agung, ST Burhanudin segerah mencopot Nicolaus Kondomo dari Jabatan sebagai Kejati Papua,” ungkap Rahaman.
Rahman menegaskan, Salah satu tuntutan yang tertuang dalam pernyataan FMPH besok saat melakukan melakukan aksi yaitu, FMPH meminta Jaksa Agung, ST Burhanuddin memerintahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Nicolaus Kondomo bersama jajaranya agar segera menetapkan, Lukas Chistian Sohilait sebagai tersangka dalam perkara Dugaan tindak pidana korupsi dana Otonomi Khusus (Otsus) pada Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPPAD) provinsi Papua, hal ini berkaitan dengan peran Lucas Christian sebagai Kepala Dinas pendidikan, provinsi Papua.
“ Dalam penanganan perkara ini patut diduga ada yang tidak beres sehingga, FMPH meminta Jaksa Agung ST Burhanudin memerintahkan Jamwas Kejagung RI agar memeriksa Kejati Papua, Asiintel dan Aspidsus Kejati Papua, terkait penanganan perkara tersebut,” Tegasnya.
Rahman mengakui, Penanganan perkara dimaksud ada aromah mencurigakan, karena bilah dilihat dari konstruksi perkara itu, tindak pidana yang dilakukan para pihak yang memiliki peran, harusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“ Perkara ini sudah ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan, dimana dalam proses penyelidikan sudah termasuk pencarian bukti permulaan yang cukup, hampir sama dengan devinisi penyidikan yang tertuang di dalam KUHP, sehingga bilah Kejati Papua, Nicolaus Kondomo sudah menyatakan bahwa perkara ini sudah ditingkatkan ke tahap Penyidikan, maka seharusnya sudah disertai dengan penetapan tersangka, apalagi sudah diperkuat dengan hasil audit perhitungan kerugian Negara dari BPK maupun perhitungan dari auditor Inspektorat provinsi Papua,” Jelas Rahman.
Rahman mengharapkan agar Kejati Papua dalam penegakan hukum perkara dugaan korupsi tersebut, tetap berpedoman pada lambang “ SATYA ADHI WICAKSANA ” sehingga public bisa paham dengan benar tentang penegakan supremasi hukum.
“ Dalam lambang SATYA ADHI WICAKSANA terlihat jelas ada Bintang bersudut tiga, nah ini menjelaskan bahwa Bintang adalah salah satu benda alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang tinggi letaknya dan memancarkan cahaya abadi, Sedangkan jumlah tiga buah merupakan pantulan dari Trapsila Adhyaksa sebagai landasan kejiwaan warga Adhyaksa yang harus dihayati dan diamalkan, kemudian Pedang yakni melambangkan kebenaran, senjata untuk membasmi kemungkaran/kebathilan dan kejahatan, berikut terlihat Timbangan, nah timbangan ini merupakan lambang keadilan, keadilan yang diperoleh melalui keseimbangan antara suratan dan siratan rasa, kemudian ada padi dan kapas, nah harus dipahami bahwa Padi dan Kapas ini melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi dambaan masyarakat, nah pedoman ini yang harus dipahami dan dihayati Kejati Papua,” Ungkap Rahman.
Rahman menegaskan, Aktivis anti korupsi yang tergabung di FMPH terus mengikuti perkembangan penanganan perkara tersebut, dimana telah beredar di Media, pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua, Nicolas Kondomo , yang menyatakan kini Kejati Papua telah menerima pengembalian keuaangan Negara dari DPPAD Papua, sebesar Rp.3,566 Miliar dalam skandal perkara dugaan korupsi tersebut, nah ini kami apresiasi, namun Kejati papua dalam penegakan hukum harus provesional sehingga memberikan edukasi yang baik bagi Masyarakat Papua.
“ Kejati Papua Harus memberikan edukasi yang baik bagi Masyarakat, karena perlu diingat, Korupsi ini Sebagai “ EXTRA ORDINARY CRIME ” ( Kejahatan Luar Biasa) dimana Korupsi adalah musuh Negara,apa lagi ini terkait Dana Otsus yang diperuntukan untuk Pendidikan Saudara-Saudara kita Di Papua, ” Ujar Rahman.
Rahman mengatakan, Tindak pidana korupsi masuk dalam kategori delik formil, artinya ketika perbuatan pelaku telah memenuhi unsur pidana korupsi, maka pelaku sudah seharusnya di pidana, karena tidak perlu harus ada sebab akibat, “ nah yang terjadi dalam perkara ini jelas, kasus sudah ditingkatkan ke penyidikan baru pelaku mengembalikan kerugian keuangan negara, sehingga terindikasi Kejati Papua tidak menetapkan tersangka dalam perkara ini maka "ini sala besar " kenapa demikian, ini delik formil, jadi walapun uang hasil korupsinya sudah di kembalikan, namun tetap pelaku harus diproses menjalani hukuman pidana, karena perbuatan korupsinya sudah terjadi dengan bukti pengembalian keuangan Negara yang sudah dikembalikan,” tegas Rahman.
Sebut Rahman, pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapus pidana bagi para pelaku tindak pidana korupsi, hal ini ditegaskan dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dimana dalam pasal 4 menegaskan, pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan pidana bagi para pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud di dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi, “ nah ini yang harus dipahami,” Jelasnya.
Rahman Menegaskan, Skandal dugaan korupsi itu sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke tahap penyidikan baru terjadi pengembalian keuangan Negara, maka perbuatan pelaku secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur pidana korupsi, sehingga Kejati Papua harus menetapkan tersangka dan menyeret para pelaku duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Papua di Jayapura sehingga memberikan efek jerah.
“ Pidana harus tetap di proses lanjut sampai ke meja hijau karena di dalam undang-undang tertuang jelas, pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana, manfaat dari pengembalian keuangan negara itu hanya meringankan hukuman itupun menjadi pertimbangan JPU saat menuntut terdakwa dan menjadi pertimbangan hakim saat menjatuhan vonis terhadap terdakwa,” jelas Rahman.
Terpisah Kepala Kejati Papua, Nicolas Kondomo terkesan menghindar untuk memberikan informasi terkait penanganan skandal dugaan korupsi Dana Ostsus itu, saat dihubungi melalui pesan singkat, Kejati hanya menjawab secara singkat “ tanyakan ke Aspidsus Pak” dari redaksi terus mencoba untuk melakukan konfirmasi, namun hingga berita ini dipublikasikan belum ada tanggapan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPPAD) provinsi Papua, Lukas Chistian Sohilait, juga enggan memberikan tanggapan, dihubungi beberapa kali melalui telepon selulernya dan melalui pesan singkat Via Watsapp, namun tidak menanggapi,kendati telepon selulenya dalam keadaan aktif. (En007)
Editor: Toka Fouw

Posting Komentar
Google+ Facebook